Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 14]
Selasa, 12 Desember 2017

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian sebelumnya kita masih membahas seputar bahaya syirik, bahwa syirik merupakan kemaksiatan yang sangat besar sehingga menyebabkan agama seorang lenyap dan imannya hancur.

Sebagaimana sudah kita ketahui, bahwa iman adalah sebab untuk masuk surga. Akan tetapi apabila iman itu tercampuri dengan syirik atau kekafiran maka hal itu menghalangi pemiliknya dari surga. Oleh sebab itu orang yang meninggal dalam keadaan berbuat syirik atau kekafiran akan masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya selama-lamanya.

Pada kesempatan ini kita akan masuk pada bab awal yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid, yaitu bab mengenai keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang terhapus karenanya. Tauhid termasuk amal salih bahkan amal yang paling utama. Tauhid ini memiliki keutamaan yang sangat banyak, salah satunya adalah berupa penghapusan dosa. Hal ini terbukti kelak ketika kaum beriman semuanya dimasukkan ke dalam surga, walaupun sebelumnya sebagian mereka harus singgah merasakan azab di neraka disebabkan dosa-dosa yang dilakukannya selama di dunia dan belum bertaubat darinya.

Keutamaan Tauhid

Beliau pun membawakan firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An’aam : 82)

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dari segala hal yang buruk dan diberikan petunjuk jalan lurus di dunia adalah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan tidak mengotori tauhidnya dengan segala bentuk syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 24)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan kepada kita bahwasanya barangsiapa yang mentauhidkan-Nya dan tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik maka Allah menjanjikan atasnya keselamatan dari masuk ke dalam neraka di akherat serta Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lurus di dunia.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi rahimahullah menambahkan, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa meninggal di atas tauhid serta bertaubat dari dosa-dosa besar dia akan selamat dari siksa neraka. Dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan masih bergelimang dengan dosa-dosa besar/tidak bertaubat darinya sementara dia masih bertauhid dia akan selamat dari kekal di neraka.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin terbebas dari syirik besar dan kecil serta perbuatan zalim kepada sesama maka dia akan memperoleh hidayah dan keamanan yang sempurna di dunia dan di akherat. Adapun, apabila dia terbebas dari syirik akbar namun tidak bersih dari syirik kecil atau sebagian dosa yang lain maka hidayah yang diperolehnya tidak sempurna. Keamanan yang dirasakannya pun tidak sempurna. Bahkan, bisa jadi dia harus masuk ke dalam neraka akibat kemaksiatan yang dia lakukan dan dia belum bertaubat darinya.” (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 19-20, lihat juga at-Tam-hid, hal. 25)

Meraih Keamanan dan Hidayah dengan Tauhid

Imam Bukhari menuturkan : Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata : Jarir menuturkan hadits kepada kami dari al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqomah dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata : Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (al-An’am : 82) maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah diantara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi : Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari no. 64444, lihat dalam Minhatul Malik al-Jalil, 12/389)

Di dalam hadits ini diterangkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan hidayah -sebagaimana disebutkan dalam surat al-An’am : 82 itu- adalah mereka yang beriman (bertauhid) dan tidak mencampurinya dengan syirik. Syirik disebut sebagai kezaliman karena orang yang berbuat syirik meletakkan ibadah kepada selain Allah, padahal tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allah. Oleh sebab itu syirik menjadi bentuk kezaliman dan dosa besar yang paling besar.

Hadits ini juga memberikan pelajaran kepada kita pentingnya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hadits merupakan penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Karena itulah para Sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini yang menurut mereka ‘memberatkan’. Kemudian jelaslah bagi mereka bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah membersihkan iman dari syirik, inilah syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan hidayah. Dengan kata lain perkara yang menghalangi hidayah dan keamanan itu adalah perbuatan syirik.

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa hidayah dan keamanan yang diperoleh itu berbanding lurus dengan kualitas iman dan besar-kecilnya kezaliman yang dikerjakan oleh manusia. Semakin kuat imannya dan semakin kecil kezalimannya maka semakin besar pula hidayah dan keamanan yang akan dirasakan olehnya. Sebaliknya, semakin lemah imannya dan semakin besar kezalimannya maka semakin kecil pula hidayah dan keamanan yang akan diperoleh untuknya.

Hadits ini juga memberikan faidah bahwasanya kezaliman itu bertingkat-tingkat. Kezaliman terbesar adalah syirik kepada Allah; yaitu dengan menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadahnya kepada Allah. Padahal ibadah adalah hak Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Syirik inilah yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka dan haram masuk surga. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa iman akan menjadi lemah akibat kezaliman. Sebagaimana diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ketaatan akan menguatkan iman, sedangkan kemaksiatan akan melemahkan iman. Salah satu bentuk maksiat itu adalah kezaliman, sedangkan syirik adalah maksiat dan kezaliman yang paling berat. Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa salah satu pembatal keimanan itu adalah perbuatan syirik kepada Allah dalam bentuk mempersembahkan ibadah berupa doa, sembelihan, nadzar, dsb kepada selain Allah. Inilah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

Hadits di atas beserta ayat yang disebutkan di dalamnya juga menjadi pelajaran penting bagi kita bahwasanya hidayah dan keamanan itu akan terwujud dengan menegakkan nilai-nilai tauhid dan memberantas berbagai bentuk pemahaman dan perbuatan syirik. Untuk bisa membersihkan aqidah dari syirik tentu membutuhkan jihad/perjuangan keras dan dakwah yang tidak kenal henti. Hal ini senada dengan firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan keridhaan Kami.” (al-’Ankabut : 69)

Hadits tersebut juga memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syirik akan mendatangkan rasa takut di akhirat dan menjauhkan manusia dari hidayah di dunia. Dengan demikian kebahagiaan dan ketenangan hanya akan bisa dirasakan oleh orang yang bertauhid dan menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Sebagaimana yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia dalam keadaan mereka belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah yang paling lezat di dalamnya?” maka beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Hadits tersebut beserta ayat yang ditafsirkannya juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya syirik adalah kotoran bagi jiwa manusia. Oleh sebab itu Allah mengutus segenap rasul untuk menyucikan jiwa-jiwa mereka dengan tauhid dan membersihkannya dari segala bentuk pemujaan berhala. Itulah salah satu rahasia mengapa para ulama hadits dan ahli fikih di masa silam mendahulukan pembahasan tentang iman dan thaharah sebelum bab-bab lainnya. Disebabkan thaharah adalah syarat diterimanya sholat dan membersihkan iman dari kotoran syirik adalah syarat diterimanya seluruh amalan.

Hadits tersebut memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya pelajaran tentang tauhid dan menjelaskan kepada manusia berbagai bentuk syirik. Sebab tauhid inilah yang akan menjadi kunci kebahagiaan dan syirik adalah gerbang menuju kesengsaraan. Oleh sebab itu dakwah tauhid menempati prioritas paling utama di dalam Islam, sebagaimana yang diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keutamaan Iman dan Amal Salih

Iman adalah jalan untuk menuju kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia merenungkan surat ini niscaya ia cukup bagi mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir, 8/479)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dengan dua hal yang pertama -iman dan amal salih, pent- maka seorang insan berusaha untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dengan dua hal yang terakhir ini -saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran, pent- maka seorang menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat hal ini seorang insan akan selamat dari kerugian dan akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 934)

Sesungguhnya iman dan amal salih adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal salih maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Lathif al-Mannan, hal. 346)

Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal salih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya- apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/601])

Hal itu disebabkan karena salah satu keistimewaan iman adalah ia membuahkan ketentraman hati dan ketenangan serta merasa cukup dengan rizki yang Allah berikan kepadanya dan juga karena dia tidak menggantungkan hati kepada selain-Nya. Inilah kehidupan yang baik itu. Karena sesungguhnya pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan dan ketentraman hati serta tidak dirundung kegelisahan sebagaimana keadaan orang yang tidak memiliki keimanan yang benar (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73)

Orang yang beriman dan beramal salih akan mendapatkan curahan petunjuk dari Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih maka Rabb mereka akan memberikan petunjuk kepada mereka dengan sebab keimanan mereka itu.” (Yunus : 9). Maksudnya Allah akan memberikan petunjuk kepadanya jalan yang lurus. Allah tunjuki dia kepada ilmu yang benar dan beramal dengannya. Allah tunjuki dia untuk bersyukur ketika mendapatkan hal yang menyenangkan/kenikmatan. Allah berikan petunjuk kepadanya untuk ridha dan sabar ketika tertimpa hal-hal yang tidak menyenangkan dan musibah (lihat Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 75)

Kebutuhan Kita terhadap Hidayah

Setiap hari kaum muslimin berdoa kepada Allah meminta hidayah. Tidak kurang tujuh belas kali dalam sehari semalam kita memohon kepada Allah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Hal ini menunjukkan bahwa hidayah adalah kebutuhan setiap insan. Kebutuhan yang sangat mendesak baginya. Karena dengan hidayah itulah ia akan tetap teguh di atas iman dan islam serta melangkah meniti jalan kebenaran. Kalau bukan karena hidayah dari Allah maka manusia akan tenggelam dalam kebatilan, syirik, kekafiran, dan maksiat.

Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna ‘ihdinaa’ (tunjukilah kami) adalah ‘arsyidnaa’ (bimbinglah kami). Beliau juga menukil tafsiran dari Ali dan Ubay bin Ka’ab bahwa maksudnya adalah ‘tsabbitnaa’ (teguhkanlah kami). Kemudian Imam al-Baghawi menyimpulkan, bahwa maksud dari doa ini adalah memohon keteguhan di atas petunjuk dan meminta tambahan hidayah (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 10)

Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya tiga riwayat tafsiran Ibnu Abbas mengenai makna ‘ihdinaa’; yaitu bermakna ‘arsyidnaa’ (bimbinglah kami), ‘waffiqnaa’ (berikan taufik kepada kami), dan ‘alhimnaa’ (berikan ilham kepada kami) (lihat Zaad al-Masiir, hal. 34)

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa untuk bisa berjalan di atas kebenaran seorang hamba membutuhkan bimbingan, taufik, ilham, dan keteguhan serta pertolongan dari Allah. Taufik, ilham dan keteguhan adalah anugerah dari Allah, tidak bisa diberikan oleh siapa pun juga bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk/taufik kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash : 56)

Di dalam ayat lainnya, Allah menjelaskan bahwa taufik dan hidayah itu akan Allah berikan kepada siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam meniti jalan Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan keridhaan Kami.” (al-‘Ankabut : 69)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa ayat ini memberikan faidah bahwasanya hidayah itu dikaitkan dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Dengan demikian orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar kesungguhannya. Sementara jihad yang paling wajib itu mencakup jihad menundukkan jiwa, hawa nafsu, setan, dan kepentingan-kepentingan dunia yang bersifat sementara dan hina (lihat al-Fawa’id, hal. 58 cet. Dar al-‘Aqidah)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-14/